24.3.09

Opera Politik Selebritis
Oleh: M. Syafiq Syeirozi
(Pemerhati Sosial, tinggal di Yogyakarta)

Terpilihnya Rano Karno sebagai Wakil Bupati Tangerang menandai fenomena baru ”perpindahan lokasi acting” para seniman televisi dari lokasi syuting ke ruang kontestasi kekuasaan. Kesuksesan “Si Doel” lantas diikuti Dede Yusuf yang menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat 2008-2013. Kini di belakang mereka ada beberapa nama beken seperti pedangdut Saiful Jamil yang coba mengadu nasib di pentas pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Di luar negeri, sebagian selebritis pernah tampil sebagai pejabat publik; Ronald Reagan yang menjadi Presiden Amerika Serikat, Joseph Estrada sebagai Presiden Filipina, Clint Eastwood sebagai Walikota California, dan Arnold Schwarznegger sebagai Gubernur California.
Sebenarnya panggung politik Indonesia sudah cukup lama dihuni oleh para artis namun itu cuma di ranah legislatif (parlemen). Tetapi kini di era sistem demokrasi langsung yang memberikan peluang setara bagi setiap individu yang memiliki modal personal, kaum selebritis mencoba meramaikan bursa kompetisi Pilkada.
Pada masa lalu, faktor popularitas artis sekadar dimanfaatkan sebagai pengeruk suara (vote getter) partai politik meski efektifitasnya belum teruji melalui riset. Sebagai penghibur panggung kampanye, mereka adalah medium promosi citra dan program kerja partai. Tetapi kini para artis berkampanye untuk dirinya. Berbekal popularitas dan finansial, para selebritis bertarung memerebutkan kursi pemimpin eksekutif daerah tertentu.
Mereka diuntungkan oleh image yang terbangun di panggung layar kaca melalui peran-peran protagonis ataupun tampilan santun, hingga pada kadar tertentu mampu memikat massa pemilih. Tak heran bila kapabilitas leadership mereka dipertanyakan. Jika para politisi (murni) mulai berkampanye menjelang atau saat berniat mencalonkan diri dalam Pilkada, para artis sudah mengampanyekan diri jauh-jauh hari tanpa sengaja melalui sinema yang dibintanginya.
Sebenarnya antara dunia politik dengan panggung hiburan layar kaca tidaklah jauh berbeda. Keduanya sama-sama arena kepura-puraan. Persahabatan dan permusuhan, kesedihan dan kebahagiaan, dalam kedua domain tersebut sama-sama berupa drama yang melibatkan emosi aktor dan dikemas dengan visualisasi dramatis. “Tidak ada kawan dan lawan yang sejati dan abadi. Yang ada hanyalah persamaan kepentingan”, demikian adagium populer dalam praktik politik. Bukankah prinsip itu juga mendasari sinema? Keduanya (politik dan sinema) adalah area opera sabun.
Ada permainan kesan dan citra dalam kedua panggung tersebut. Kampanye politik dan sinema layar kaca melakukan propaganda untuk menyampaikan pesan tertentu, serta mengaduk-aduk emosi audien (massa pemilih/penonton). Maka sang aktor selalu berusaha mengadaptasikan diri dengan pengendalian audien, agar kesan diri yang mereka tampilkan mampu memengaruhi pikiran audien untuk menetapkan aktor sebagai figur yang dibutuhkan. Hingga akhirnya mereka berkenan bertindak seperti yang diinginkan aktor. Di sinilah relasi kuasa antara aktor dengan audience.
Sosiolog Erving Goffman memerkenalkan teori dramaturgi yang tepat untuk mencandera fenomena ”perpindahan lokasi acting” ini. Dramaturgi berkaitan erat dengan konsep diri, pengaturan kesan, dan peran sosial. Individu menggunakan beragam cara untuk memperoleh kepercayaan sosial terhadap konsep dirinya. Dalam relasi sosial, setiap orang selalu ingin mengontrol kesan-kesan yang diberikannya pada orang lain melalui penampilan, peran dan gerak isyarat yang menyertainya, serta keadaan fisik di mana ia memainkan peran (Johnson, 1986: 42).
Dengan menganut analogi teatrikal Goffman memerkenalkan tiga elemen penting dalam teorinya yaitu front stage (panggung depan), back stage (panggung belakang), dan residual (panggung luar). Merujuk unsur-unsur tersebut, identitas personal dan tindakan yang ditunjukkan aktor sinema dan politisi merupakan upaya mereka di wilayah front stage untuk mengukuhkan citra, kesan, dan identitas sebagai seorang santun dan credible dalam bidangnya. Sebab pada wilayah itulah ia membutuhkan legitimasi publik untuk mengukuhkan kekuasaan sebagai aktor.
Adapun perilaku amoral layaknya penyalahgunaan narkoba, perselingkuhan seksual, korupsi, dan lainnya berada dalam area panggung belakang. Yakni ranah domestik privat yang seharusnya tidak diketahui publik dan menjadi rahasia pribadi. Jika kebobrokan tersebut terbongkar tamatlah riwayat karir mereka. Sedang panggung residual ialah ruang luar yang bukan termasuk panggung depan ataupun belakang.
Kini di tengah kejenuhan rakyat terhadap para politisi (murni), selebritis menjadi tokoh alternatif. Bagi selebritis –yang sudah terlatih di panggung hiburan—barangkali tidak sulit untuk berpolitik yang penuh aksi teatrikal itu. Namun kepemimpinan lokal tidak sekadar aksi permainan kesan dan citra untuk memikat audience. Selebritis yang sudah terpilih seperti Rano Karno dan Dede Yusuf harus berhadapan dengan problematika sosial kompleks. Mereka diuji kapabilitasnya untuk menahkodai birokrasi daerah. Mampukah mereka mematahkan asumsi hanya “berbekal modal popularitas dan finansial?” Tunggu saja.