11.6.09

Ambivalensi Praktik Demokrasi Amerika Serikat: Menengok Kasus Invasi Irak

Oleh: M. Syafiq Syeirozi

Mukadimah

Dunia berubah pada 11 September 2001. Sebagian sejarawan menjuluki 11/09/01 sebagai awal sejati abad kedua puluh dan pembukaan hakiki milenium ketiga. Hari itu sembilan belas teroris bersenjatakan pisau dan senapan seadanya membajak empat pesawat berpenumpang. Menabrakkan dua di antaranya ke menara kembar gedung Word Trade Center (WTC) di New York, dan pesawat ketiga ke gedung Pentagon. Tak lama berselang, dua menara yang kerap menjadi simbol kedigdayaan ekonomi Amerika Serikat (AS) itu runtuh. Sementara, para penumpang pesawat keempat melawan pembajak sehingga pesawat akhirnya jatuh di pedesaan Pensylvania. Korban tewas mencapai lebih dari 3.000 orang meliputi warga dari 80 negara.

AS terperangah marah, meradang emosional, merutuk, dan mengutuk aktor serta dalang serangan tersebut. Aksi bunuh diri itu pun memicu koor kutukan dan simpati dari seluruh penjuru dunia. Yasser Arafat, penguasa Palestina, negeri yang terus menerus di-pressure Israel –dengan sokongan dari AS, mengatakan, “Kami sangat terkejut. Sungguh tak dapat dipercaya. Kami sungguh mengutuk serangan biadab ini, dan saya sampaikan ucapan bela sungkawa kepada seluruh rakyat AS, Presiden AS, dan pemerintahan AS, bukan hanya atas nama pribadi namun mewakili rakyat Palestina.“ Muhammad Khatami dari Iran –negara yang hingga detik ini masih berseteru dengan AS atas tuduhan produksi bom nuklir, menyatakan bahwa dia merasakan “kesedihan yang mendalam dan simpati terhadap para korban.” Bahkan menteri luar negeri Taliban, Wakil Ahmad Mutawakkil, menyampaikan kepada jaringan televisi Arab, al-Jazeera, “Kami mengutuk serangan teroris ini, siapa pun yang berada di belakangnya.”

Satu-satunya pemimpin dunia yang bungkam adalah Presiden Irak, Saddam Hussein.
Demikian ilustrasi provokatif Mahajan mengomentari peristiwa yang populer dengan 09/11 (nine eleventh). Ia menuliskan bagaimana dunia secara reaksioner memberikan respon bela sungkawa dan perasaan pedih mendalam atas kejadian itu sekan melupakan segenap tindak keji pemerintahan AS atas negeri-negerinya. Dan Amerika yang merasa malu dan tersodok simpul-simpul saraf keangkuhannya melemparkan statemen-statemen provokatif dan secara emosional mulai menyematkan kecurigaan dan prasangka buruk kepada beberapa negara sarang teroris nun jauh di seberang (untuk tidak menyebut negeri Islam). Perang terhadap terorisme ! itulah frase yang menjadi kredo AS dan sekutunya untuk memberangus musuh-musuh politik luar negerinya.

Tak selang lama, sekitar empat minggu setelah tragedi itu, AS membombardir Afghanistan dengan tuduhan menyembunyikan Osama bin Laden, sang lakon serangan 09/11 itu. Dengan dalih membela diri dan memprevensi tindak terorisme lanjutan, AS tak menghiraukan seruan internasional agar tidak merealisasikan niatnya. Padahal posisi negeri adikuasa itu tak sepenuhnya bisa dikategorikan memertahankan diri yang di dalamnya harus meliputi keterdesakan kondisi, tanpa alternatif, ketiadaan peluang menyelamatkan diri. Selain itu syarat mutlak berikutnya yang mesti dipenuhi ialah keharaman eksesif atau sewenang- wenang. Pendek kata, invasi militer untuk bela diri sah diambil karena adanya ancaman serangan yang pasti, hampa opsi, dan harus mempunyai sasaran tepat kepada pihak yang memang menimbulkan ancaman (threat).
Secara kasat mata, tentunya dunia internasional mengerti jika Afghanistan bukanlah negara yang memiliki fasilitas persenjataan militer lengkap dan pertahanan tangguh. Tak ada pesawat pembom jarak jauh terkontrol, misil balistik interkontinental, atau instrumen fisik lain untuk sungguh-sungguh menggempur dan memerdayai AS. Jika memang ada ancaman, pastinya berasal dari kelompok teroris yang kemungkinan besar tidak hanya singgah di Afghanistan namun juga di beberapa negeri lain. Akankah AS menyerang negeri yang disangka sarang teroris? Secara sarkastis barangkali kita bisa menuduh ke AS bahwa phobia akan bahaya teror besar hanyalah berada dalam ruang imajiner mereka.

Jika hendak berlaku fair sejauh membuktikan hasil investigasinya: menangkap dan mengadili Osama bin Laden dan kelompoknya yang tergabung dalam gembong al-Qaeda tentu pilihan negosiasi dan musyawarah –seperti ditekankan dalam konsep demokrasi— bersama rezim Taliban adalah yang terbaik. Jika hal itu tak tercapai pun agresi militer tetap bukanlah hal yang bisa dibenarkan mengingat masifitas korban sipil yang gugur. (Sebenarnya saya tidak hendak mengupas persoalan Afghanistan dalam tulisan ini, tapi minimal menjadi wacana pemicu).

20 Maret 2003, delapan belas bulan pasca tragedi 09/11, AS dan sekutunya kembali menginvasi Irak setelah perang teluk pada tahun 1991. Diawali dengan gempuran udara yang dilakukan terhadap sasaran-sasaran militer Irak di Baghdad dan sekitarnya selama 21 hari tanpa henti yang ternyata sukses melumpuhkan kekuatan militer Irak, AS tanpa malu menunjukkan ke mata dunia bahwa mereka telah menjajah dan mengkooptasi wilayah Irak secara langsung. Menurut keterangan Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld, serangan udara yang dilakukan terhadap Baghdad sejak perang dimulai tidak cuma dimaksudkan untuk mengganggu posisi-posisi militer Irak. Serangan udara yang dilakukan oleh pesawat tempur pasukan gabungan dan rudal penjelajah Tomahawk secara berkelanjutan itu sukses melumpuhkan kekuatan militer Irak. Hingga tak heran serdadu koalisi mampu melenggang menembus Baghdad, ibu kota Irak, tanpa perlawanan berarti dari pasukan Irak.

Dalil yang didendangkan dalam penyerangan ini memang terdengar klasik: Irak memproduksi mass weapon destruction (MWD) atau senjata pemusnah masal dan senjata- biologis perusak lainnya yang mampu meluluhlantakkan suatu wilayah dalam radius amat luas. Namun sungguh ironis, hingga detik ini dugaan itu gagal terbukti. Meski beberapa misi lain juga diteriakkan George W. Bush Jr. yang diamini pemerintahan sekutunya kala memutuskan menginvasi militer Irak bahwa mereka hendak membebaskan rakyat Irak dari cengkeraman tirani sang dikatator Saddam Hussein yang despotik dan menindas hak rakyat Irak dan beberapa negeri Timur tengah lainnya (Ingat invasi Irak ke Kuwait, Iran, dan suku Kurdi!)

Pada April 2006 ini, tepat tiga tahun lebih sebulan penjajahan itu berlangsung. Pasukan koalisi masih terus menduduki wilayah Irak. WMD belum (tidak) terjumpai, misi pembebasan dan demokratisasi Irak masih gamang, kabur, dan problematis. Bagi siapa pun pemerhati politik, invasi ini mengundang banyak pertanyaan. Apakah demokrasi bisa ditegakkan melalui penaklukan dan intervensi dari pihak luar? Benarkah kebebasan sipil bisa tercapai oleh proses militeristik yang sarat kekerasan? Haruskah demokrasi menelan tumbal jiwa-jiwa tak berdosa sedemikian masifnya? Pertanyaan-pertanyaan kusut inilah yang hendak saya urai dalam tulisan pendek ini.

Sekilas Invasi Irak

Pasca perang teluk 1991, sesungguhnya pertempuran antara AS dan Irak belum pernah rampung. Perseteruan urat saraf melalui statemen provokatif yang terliput media massa terus berjalan kendati Amerika telah dua kali mengganti presidennya. Perang teluk pertama berlangsung saat Amerika dipimpin George H.W. Bush (Ayah Bush Jr.) menyoal penyerangan Irak terhadap Kuwait dan Suku Kurdi.

Pasca perang teluk, Presiden Bush menyerukan kepada rakyat Irak untuk bangkit melawan dan mencampakkan pemerintahan represif mereka. Dalam beberapa hari tentara Irak kembali menyulut pemberontakan berskala besar di beberapa wilayah Irak. Pelbagai peristiwa sejenis masih terus berlangsung hingga memicu sengketa berkepanjangan walau kesepakatan gencatan senjata telah diteken kedua pihak. Richard Haas, Direktur Urusan Timur Dekat Dewan Keamanan Nasional, sehari setelah gencatan senjata menyatakan “Kebijakan kami ialah menjatuhkan Saddam bukan rezimnya”. Selama operasi CIA pada rentang 1991-1996 misi itulah yang senantiasa diusung dan dirancang untuk menghasut kudeta militer atas Saddam.

Tahun 1998 saat tampuk kepresidenan AS dipucuki Bill Clinton, pertempuran dalam skala kecil memang masih kerap terjadi. Salah satu di antaranya adalah serangan bom badai gurun pada 16 Desember 1998 yang membuat kondisi sosial ekonomi Irak kian terpuruk setelah diberlakukannya embargo ekonomi yang mencakup larangan penuh terhadap semua ekspor minyak dari Irak dan tuntutan agar semua impor mendapat persetujuan dari Komite Sanksi Dewan Keamanan PBB. Hukuman itu dapat dicabut jikalau pemeriksa senjata PBB dapat menggaransi bahwa Irak bebas dari senjata nuklir biologis dan kimia serta peluru roket kendali jarak jauh atau semua yang diklasifikasikan sebagai senjata pemusnah masal.

Mungkin absah dikatakan jika invasi 2003 hanyalah letupan bom waktu yang selama sekian tahun dibungkam, ditahan, dan meletup pada era Presiden Bush Jr, anak kandung dari pemimpin AS saat perang teluk. Seperti disinggung pada alinea awal tulisan ini, AS sungguh marah besar karena salah satu simbol kedigdayaan ekonomi dan pertahanan militernya mampu dikoyak oleh sekelompok teroris dengan strategi cukup klasik. Radar-radar pertahanan AS tak kuasa menangkal teror itu. Barangkali peristiwa kemanusiaan inilah yang membelalakkan mata dunia bahwa AS tidak setangguh seperti yang diimajinasikan.

Tatkala para pemimpin dunia secara simbolis mengungkapkan rasa duka cita mendalam justru Saddam Hussein, pemimpin Irak, diam seribu bahasa dan tak bergeming sedikit pun. Tindakan ini memicu reaksi tudingan AS bahwa Irak punya keterlibatan dan pertalian dengan jaringan teroris 09/11. Beberapa alasan yang melegitimasi inisiatif invasi ke Irak mulai diwacanakan ke publik semenjak itu. Penolakan Irak untuk memberikan izin masuk pengawas persenjataan semakin menegaskan keyakinan Bush; ada senjata pemusnah masal di Irak! Ia mengancam akan menjatuhkan hukuman keras bagi Irak. Namun saat itu AS mesti meninjau ulang rencana penyerangan karena nyaris sama sekali tak di-support sekutu-sekutu tradisionalnya, meski telah sukses merebut hati Inggris dan Turki (dari pangkalan udaranya di sana AS secara reguler meluncurkan patroli udara dan mengebom bagian selatan Irak). Namun Arab Saudi, konco ekonominya tak mengizinkan penggunaan pangkalan militer AS di sana sebagai kawasan penyokong serangan. Namun apa lacur, tanpa menunggu restu dari Dewan Keamanan (DK) PBB, AS pada 20 Maret 2003 telah memulai agresinya. Serangan diawali dari udara dan baru pada 21 Maret pasukan AS memasuki wilayah Irak dari daratan.

Kini giliran AS yang menuai kecaman keras dari pelbagai negara di dunia atas tindak agresinya itu, kendati tak sedikit pula negara yang justru mendukung langkah tersebut. Namun beberapa negara pengecam tampak ragu atas respon yang dilontarkannya itu, sebab bagaimana pun negara-negara tersebut memiliki relasi diplomatik yang sangat erat dengan AS. Indonesia melalui Presiden Megawati saat itu seperti menghadapi dilema. Megawati yang secara objektif sudah lemah dan goyah tentu akan mengalami permasalahan yang lebih berat lagi. Di satu pihak pemerintah harus berupaya mengakomodasi kecaman terhadap tindakan sepihak AS, di lain pihak pemerintah harus memperhitungkan dampak dari pernyataan yang terlalu keras terhadap pemulihan ekonomi Indonesia.

Kendati siapa pun hampir tak terlampau terkejut dengan sikap AS namun kaum pasifis (cinta damai) tentu tak henti memprotesnya. Kritik pedas dari akademikus terlontar di tiap tempat. Bagaimana negara yang menganut sistem liberal justru menjadi imam atas imperialisme yang dikutuknya karena menindas dan banyak memerkosa hak asasi manusia. Negara yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai kampiun demokrasi, hingga Alexis De Tocquville memuja-muji dalam salah satu karya yang menjadi magnum opus-nya. Perasaan inilah yang menyulut saya untuk ikut melontarkan kritik atas praktik demokrasi AS dari perspektif idealitas demokrasi liberal yang menjadi mazhab negara super power itu.

Demokrasi = Kebebasan Sipil

Demokrasi, barangkali adalah akronim dari Yunani yang paling absurd. Bagaimana mungkin demos (rakyat) dan cratos (otoritas), atau sebutlah kekuasaan rakyat, bisa mewujud secara absolut dan kongkrit? Sementara, pemilu yang diakui sebagai mekanisme paling modern untuk merealisasikan kekuasaan rakyat pun sesungguhnya cuma mewakili sebagian dari keseluruhan. Dan sebagian perwakilan itulah yang justru bisa membawa pada jurang kenestapaan.

Begitulah demokrasi yang saat ini menjadi ideologi idaman untuk menata negara baik pada level struktural maupun non struktural. Secara formal prosedural barangkali seluruh negara berhasil melaksanakannya secara tepat seraya menganut prinsip trias politica –yang dielaborasi Montesquieu dalam Esprit Des Lois (1748)— di mana lembaga kekuasaan terbagi dalam tiga domain: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Dengan tiga pembagian itu idealnya memang terjadi mekanisme check and balances, saling kontrol dan mengawasi antar lembaga kekuasaan. Namun dalam iklim negara yang otoriter dan opresif, kedua lembaga terakhir bisa nir fungsi dan takluk di bawah tangan kuasa Eksekutif. Sebagai misal, tilik mekanisme yang berlaku selama rezim orba. Inilah demokrasi semu.

Dari sinilah kaidah bahwa tak ada konsep paripurna tanpa cela menjumpai pembenarannya. Ideologi demokrasi yang diagung-agungkan dan senantiasa diteriakkan oleh pelbagai komponen gerakan sosial dan politik juga banyak memberikan peluang negatif; selain otoritarianisme juga dominasi mayoritas sebab perwakilan tentu tak bisa mewakili keseluruhan. Begitulah perjalanan menuju demokrasi yang tak pernah usai hingga orang tak lelah “mencari”-nya. Demokrasi memang lebih tepat menjadi muara dari segenap ideologi dan kepentingan yang mengemuka. Demokrasi menjadi sistem dalam arena di mana banyak kalangan berdiplomasi, berpolitik, dan menaklukkan lawan tanpa kekerasan.

Mengacu pada idealitas itu, demokrasi seolah menjadi suatu keharusan yang wajib dipenuhi bukan saja karena demokrasi sangat memungkinkan terbentuknya suatu pola interaksi dan relasi sosial politik yang equal, tidak eksploitatif, tetapi pula mendukung tegaknya pluralisme bangsa. Dalam demokrasi, keragaman dan kemajemukan golongan dan kepentingan tidak mata-mata sebagai sesuatu yang manusiawi, tetapi merupakan karunia Tuhan (sunnatullah). Karena tanpanya, sejarah dan peradaban manusia akan tidak produktif, bahkan kehilangan perspektifnya yang dianamis dan dialektis.

Kemajemukan memang tak bisa dimungkiri sebab manusia juga tercipta dalam kondisi serbaberbeda satu sama lain. Di sinilah demokrasi bertemu dengan liberalisme. Sebuah ideologi yang memberikan peluang seluas-luasnya kepada setiap individu. Filsafat liberalisme erat kaitannya dengan John Stuart Mill (1806-1873). Menurutnya, kemerdekaan individual sangat signifikan dalam kehidupan sosial. Kendati demikian individu dapat saja mengorbankan hak-haknya bila hak tersebut membahayakan kepentingan umum (common good).

Mills menggabungkan falsafah Utilitarianisme Inggris dengan Positivisme Perancis. Dari paham utilitarian, Mill mengambil prinsip-prinsip berikut: 1) Manusia bertindak untuk memaksimalkan kepentingan sendiri, 2) Aturan-aturan moral haruslah berarti bagi kemaslahatan umum (banyak orang), 3) Prinsip manfaat harus menjadi dasar pengaturan kekuasaan legislatif dan pengambilan kebijakan politik. Pokok-pokok ajaran Mill ialah kemerdekaan individu. Ia mengemukakan tiga daerah kemerdekaan individu. Pertama, daerah kesadaran politik; menuntut kebebasan kata hati dalam arti seluasnya yaitu kemerdekaan berpikir, merasa, dan mengemukakan pendapat dalam pelbagai hal. Kedua, kemerdekaan cita rasa dan upaya untuk memperolehnya; kebebasan berrencana dan menanggung akibat. Ketiga, kemerdekaan berkelompok atau bergabung dengan individu lain. Menurut Mill, tidak akan ada masyarakat yang bisa hidup tanpa menghormati tiga prinsip itu. Karenanya, nilai suatu negara terletak pada sejauh mana mengakui kemerdekaan individu sebagai anggotanya. Negara tidak hanya melakukan tugas-tugas administratifnya namun harus mengembangkan mental warganya. Dalam filsafat liberalismenya, Mill memandang manusia bukanlah mesin yang dibentuk menurut suatu model atau aturan tetapi lebih merupakan pohon yang bertumbuh dari segala segi sesuai kecenderungan yang tumbuh dari dalam diri.

Dalam kaca pandang Abdurrahman Wahid, liberalisme adalah filsafat hidup yang mementingkan hak-hak dasar manusia atas kehidupan. Hingga secara mutlak perlu ditegakkan kedaulatan hukum, perlakuan setara di depan hukum atas semua warga tanpa memandang asal usul etnis, budaya, dan agama. Liberalisme bahkan melindungi mereka yang berbeda dari mayoritas. Dengan ungkapan lain, liberalisme memiliki nilai yang mendukung peradaban tinggi.

Bila merunut sejarahnya, liberalisme memang melakukan oposisi terhadap kekuasaan gereja (kependetaaan) dan negara aristokratis di mana negara bergandengan dengan agama (tertentu) untuk menentukan kebijakan politiknya. Dari sinilah ia bertemu sekularisme yang menghendaki pemisahan agama dari negara. Dalam konteks invasi AS ke Irak atau Afghanistan, dua negara terakhir mengikuti paham Monarchy absolut dan cenderung berpaham aristokrasi: negara berdasarkan hukum agama (Islam) dan pemimpin memiliki kekuasaan melimpah hampir tanpa batas sembari mengklaim sebagai wakil Tuhan. Sementara AS pada sisi lain merupakan pendakwah demokrasi liberal yang harus memasarkannya ke setiap negara bangsa.

Ambivalensi

Akhmad Sahal, politikolog muda, menulis:
Invasi ini (AS ke Irak: Pen.) menyesakkan bukan saja karena dampaknya yang membikin Irak karut-marut dan membawa dunia ke dalam situasi yang semakin tidak aman dari terorisme. Yang tak kalah meresahkan adalah doktrin yang mendasari invasi, yang dijajakan oleh kaum neokonservatisme dan dianut oleh pemerintahan George W Bush. Doktrin ini lazim disebut ”imperialisme demokratik”. Inti dari imperialisme demokratik adalah kombinasi antara kekuatan militer dan ide demokrasi. Dalam pandangan neokons, sebagai strategi perang melawan terorisme, Amerika harus menggunakan kekuatan militernya yang tak tertandingi untuk secara agresif menyebarkan demokrasi. Amerika tidak perlu segan tampil sebagai kekuatan imperial yang mempromosikan demokrasi ke seluruh jagat.

Imperialisme Demokratik, itulah kosa kata cukup baru yang mengabsahkan tindak kekerasan untuk mendakwahkan dan mendiseminasikan wacana sekaligus praktik demokrasi. Namun, melansir Sahal, di sinilah titik soalnya: ide demokrasi yang bertumpu pada kebebasan dan otonomi dikawinkan dengan kekuatan militer yang bersandar pada jalan perang dan penaklukan. Yang satu mendambakan situasi dialogis, yang lain menargetkan dominasi. Bisakah cita-cita liberalisme (kebebasan dan self government) dicapai melalui imperialisme?

Barangkali itulah wajah ganda (double face) liberalisme. Alexis de Tocqueville dikenal melalui karya briliannya tentang demokrasi di Amerika. Padahal, ia juga menjadi arsitek kolonialisme Perancis di Aljazair. J. S. Mill adalah pembela kebebasan individu dari ancaman tirani mayoritas, namun juga terlibat aktif dalam kolonialisme Inggris di India.

Tocqueville adalah pemikir liberal Perancis yang lahir dari keluarga aristokratik. Komitmennya pada liberalisme membuatnya resah menyaksikan situasi Perancis pada masanya yang mengalami demokrasi sosial radikal pasca revolusi. Tetapi hal itu penuh pergolakan karena tidak dibarengi kesadaran mengembangkan demokrasi politik. Karenanya Perancis perlu belajar dari demokrasi AS sebab berhasil mengelola demokrasi sosial dengan mengembangkan demokrasi politik. Lantas, kenapa Tocqueville mendukung imperialisme? Dalam amatan Sahal, ini terkait dengan sosok pribadinya yang menghuni dua kancah: kancah liberal dan aristokrasi. Meski menegaskan urgensi demokrasi, Tocqueville sebenarnya meratapi hilangnya keagungan makna politik sebagai konsekuensi dari demokrasi massa. Ini ditandai dengan merosotnya patriotisme warga Perancis. Ia lantas melihat kolonialisme Perancis atasAfrika sebagai pertualangan baru yang bisa menaikkan patriotisme dan mendongkrak kembali kebesaran Perancis. Dalam Democracy In America, padahal Tocqueville dengan pedas mencela kulit putih yang merebut tanah Indian dan membawa mereka menuju kepunahan. Kepekaannya terhadap kebebasan dan kesetaraan tampak kuat mewarnai deskripsi Tocqueville tentang Amerika. Sayang sikap ini kalah oleh sentimen nasionalismenya.

Sementara J. S. Mill adalah pemikir liberal Inggris yang mendukung dan terlibat dalam imperialisme negerinya atas India karena dia percaya tatanan imperial merupakan sarana untuk membawa bangsa terbelakang mencapai kemajuan. Argumen Mill bertolak dari klaim superioritas Inggris yang membawa misi sivilisasi. Dalam pandangan Mill, untuk mencapai kemajuannya India tidak mungkin dibiarkan berdemokrasi sendiri karena pasti akan kacau. Demokrasi dan kebebasan hanya bisa berjalan baik dalam masyarakat dengan kultur dewasa seperti Inggris. Dalam pandangan Mill, imperialisme perlu karena itulah sarana yang secara bertahap akan membawa tahap ”kultur kanak-kanak” India ke tahap ”kultur dewasa”.

Di sinilah titik jumpa liberalisme Mill dengan demokrasi versi Bush dan sekutunya. Dua ide mereka sama-sama menghalalkan penaklukan dan penjajahan secara fisik. Namun, seraya mengacuhkan segala dalih Bush dalam agresinya ke Irak –terbukti seluruh tuduhannya bohongan belaka, semua orang tahu bila Irak adalah negara ladang minyak dunia yang memiliki aset produksi alam sangat berlimpah yang jika sukses dikuasai AS tentu akan kian menopang kejayaan ekonominya.

Yang cukup unik, dalam Pemilihan Presiden AS 2004 sebenarnya banyak orang menduga Bush mustahil terpilih lagi menilik seluruh kebohongan yang dikerjakannya. Tetapi hasilnya sungguh menghenyakkan, Bush kembali memenangkan pemilihan Presiden secara mutlak. Oleh Robert Setyo, hal ini disinyalir sebagai gejala fundamentalisme Protestan. Sebab alasan yang dikemukakan para pemilih Bush adalah karena Bush dianggap sebagai figur paling tepat untuk menjaga moralitas bangsa. Sikapnya yang antiaborsi, homoseksual, percobaan stem cell, telah meyakinkan para pemilihnya bahwa ia sosok yang dapat membawa AS keluar dari berbagai tragedi yang banyak dialami akhir-akhir ini. Tak sedikit orang yang mengaitkan tragedi 09/11 dengan kebobrokan moral bangsa AS. Tragedi itu semacam hukuman Tuhan terhadap bangsa yang kehilangan kendali moral. Sehingga AS perlu dipimpin oleh sosok dengan moralitas yang benar dan tegas terhadap orang yang moralnya keliru seperti kaum homoseksual.

Dugaan ini memang cukup beralasan. Kaum fundamentalis di mana pun ruang dan apa pun basisnya, senantiasa menganggap dirinya sebagai paling benar (truth claim) dan paling selamat di sisi Tuhan. Dan juga berkewajiban untuk menyebarkan keyakinan yang dianutnya kepada kelompok (bangsa) yang masih belum mengikuti kepercayaannya melalui strategi apa pun termasuk kekerasan.

Penutup

Joseph Schumpeter dalam satu esainya tentang imperialisme menyatakan, hasrat penaklukan dan imperialisme di zaman modern sesungguhnya adalah suatu gejala atavisme: ia merupakan pemunculan kembali gairah purba yang berakar pada dunia lama, dunia praliberal yang masih bersemayam dalam diri para penguasa Barat modern.
Pemerintah Amerika yang berkuasa saat ini menggunakan demokrasi dengan strategi terkasar dan memuakkan dengan tujuan mengakomodasi kepentingannya sendiri. Demokrasi Amerika digambarkan sebagai gadis terhormat (layaknya pujian Tocqueville) pada tataran wacana tapi sebagai pelacur dalam prakteknya. Amerika benar-benar lupa bahwa demokrasi bukanlah proses instan yang langsung jadi melainkan butuh jalan terjal berliku, tapi semuanya dilacurkan sekadar menjadi cara untuk mencapai tujuan egonya. Demokrasi ialah produk kesadaran internal bangsa dan bukan hasil perkosaan intervensi bangsa lain.






Daftar Pustaka

Akhmad Sahal, Liberalisme dan Anti-imperialisme, Rubrik Bentara Kompas, Sabtu, 04 Maret 2006
Alexis De Tocqueville, Democracy In America, JP. Mayer (Ed.), Alih Bahasa; George Lawrence, NewYork: Anchor Books, 1969
Benedict Anderson, Clifford Geertz, dkk., Mencari Demokrasi, FX. Baskara T. Wardaya (Ed.), Jakarta ; ISAI, 1999, Cet. 1
Jhr. Dr. J.J Von Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara Dan Hukum (Dari Plato Sampai Kant), Terj. R. Wiratno, Djamaludin Dt. S., dan Djamadi, Jakarta: PT. Pembangunan, 1980.
H.A.R Tilaar, Multikulturalisme, Jakarta: Gramedia, 2004
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Rahul Mahajan, Perang Salib Baru; Amerika Melawan Terorisme Atau Islam, Alih Bahasa: Zaimul Am, Jakarta: Serambi, 2002, cet. 1
Robert Setyo, Fundamentalisme Kristen (Protestan), Makalah disampaikan dalam seminar tentang Fundamentalisme yang diselenggarakan oleh Dialogue Centre, UIN Yogyakarta, 18 April 2005.
Yang Tidak Terliput dari Invasi Amerika Serikat ke Irak, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/04/ln/293186.htm
http://www.lin.go.id/dokumen/010403POLA0002/Kajian%20Asing%2012.doc