26.12.08

Life Is Struggle



Kerinduan akan kenikmatan
Kesemuan yang memikat sahwat
Menempuh alur demi untuknya
Ada tirta mata yang menetes
Dan darah yang mengarus

Terus saja tangan kaki bergerak
Mulut meracau berteriak
Menapaki hidup dengan keacuhan
Dari serakan-serakan lisan

Dengan segenap cita
Perjuangan adalah perwujudan kata-kata
Begitu kata pujangga

KONTROVERSI GERAKAN AHMADIYAH DI INDONESIA

a. Pendahuluan

Ahmadiyah lahir sebagai sebuah gerakan keagamaan di India pada paruh akhir abad 19 M. Faktor yang memotivasi munculnya aliran ini ialah kemunduran umat Islam India di bidang agama, politik, ekonomi, sosial dan bidang kehidupan kehidupan lainnya, terutama pasca pecahnya revolusi India 1857 yang berakhir dengan kemenangan Inggris, sehingga India dijadikan sebagai salah satu Negara koloni Inggris yang terpenting di kawasan asia (Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta: LKIS, 2005. hal. 1).

Sebagai sekte, ahmadiyah merupakan gerakan keagamaan yang dipimpin oleh Mirza Ghulam Ahmad(1835-1908) di Qadian, Punjab, India. Karena beberapa doktrinnya, gerakan yang lahir tepatnya tahun 1889 ini di kalangan muslim sunni ortodoks, dianggap menyimpang dari ajaran Islam sebenarnya. Oleh kalangan yang kontra dengan Ahmadiyah dilabeli sebagai aliran sesat dan menyesatkan.

Beberapa ajaran yang dituduhkan dan dianggap menyimpang di antaranya ialah; Meyakini bahwa Mirza Ghulam adalah al-masih yang dijanjikan; Meyakini bahwa Allah berpuasa dan melaksanakan shalat, tidur, mendengkur, menulis dan menyetempel, melakukan kesalahan, dan berjimak; Keyakinan bahwa Tuhan adalah berbangsa Inggris, karena Dia berbicara dengan mereka menggunakan bahasa Inggris; Malaikat Jibril datang kepada Mirza Ghulam Ahmad, dan memberikan wahyu dengan diilhamkan sebagaimana al-Qur'an; Menghilangkan aqidah/syariat jihad dan memerintahkan untuk menaati pemerintah Inggris, karena menurut pemahaman mereka, pemerintah Inggris adalah waliyul amri (pemerintah Islam) sebagaimana tuntunan Al-Qur'an; Seluruh orang Islam menurut mereka kafir sampai mau bergabung dengan Ahmadiyah. Seperti bila ada laki-laki atau perempuan dari golongan Ahmadiah yang menikah dengan selain pengikut Ahmadiyah, maka dia kafir; Membolehkan khamer, opium, ganja, dan apa saja yang memabukkan; Kenabian tidak ditutup dengan diutusnya Nabi Muhammad akan tetapi terus ada. Allah mengutus rasul sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Dan Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi yang paling utama dari para nabi yang lain; Tidak ada al-Qur'an selain apa yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad. Dan tidak ada al-Hadits selain apa yang disampaikan di dalam majelis Mirza Ghulam, serta tidak ada nabi melainkan berada di bawah pengaturan Mirza Ghulam Ahmad; Kitab suci mereka diturunkan (dari langit), bernama `Al-Kitab al-Mubin', bukan al-Qur'an al-Karim yang ada di tangan kaum muslimin; al-Qadian (tempat awal gerakan ini) sama dengan Madinah al-Munawarrah dan Mekkah al-Mukarramah; bahkan lebih utama dari kedua tempat suci itu, dan suci tanahnya serta merupakan kiblat mereka dan ke sanalah mereka berhaji; Mereka meyakini bahwa mereka adalah pemeluk agama baru yang independen, dengan syariat yang independen pula; seluruh teman-teman Mirza Ghulam setara dengan sahabat Nabi Muhammad Saw. (Ahmadiyah, Kelompok Pengekor Nabi Palsu, http. www.hidayatullah.com)

Munculnya gerakan ahmadiyah di India –kemudian menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia— sudah barang tentu dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi India pada masa hidup Mirza Ghulam Ahmad. Di Indonesia, Ahmadiyah yang berkembang ternyata bukan hanya aliran Qadian saja, melainkan juga ajaran Lahore. Keduanya mempunyai perbedaan mendasar walaupun sebenarnya sama- sama mengacu pada ajaran-ajaran yang digagas Mirza, pendiri gerakan ini.

Kelahiran dan pertumbuhkembangan gerakan Ahmadiyah di Indonesia (tahun 1924 untuk pengikut mazhab Lahore, dan 1925 untuk mazhab Qadian), bisa dikatakan sebagai gerakan pembaharuan dalam Islam, karena beberapa ajarannya yang berbeda dari arus besar mazhab Islam mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat kita. Dan inilah yang memicu kontroversi gerakan ahmadiyah di negeri ini, hingga memantik Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa pelarangan atas aliran Ahmadiyah. Beberapa minggu sebelum fatwa ini muncul, terjadi penyerangan dan pengusiran anggota Ahmadiyah dari markasnya di kawasan Parung, Bogor, oleh sekelompok kaum muslim yang tidak bertanggungjawab.

b. Kontroversi Ahmadiyah

Mirza Ghulam Ahmad mengklaim sebagai Nabi Isa kedua yang kedatangannya telah diramalkan Rasululloh Saw di beberapa hadits, dan sebagai nabi yang datang setelah nabi Muhammad Saw tetapi tidak membawa syari’at (dipercaya oleh golongan ahmadiyah Qadian). “Akulah yang ditunggu-tunggu. Akulah Imam Mahdi dan Almasih yang ditunggu-tunggu,” (Amir Ahmadiyah: Silakan Orang Kristen Beribadah di Masjid Kami, http: www.sinarharapan.co.id) konon begitu klaim yang terlontar dari Mirza. Maka predikat yang dilekatkan padanya adalah Imam Mahdi, pembaharu, Krishna dan beberapa gelar lain yang ada pada seorang Mirza.

Ahmadiyah terpecah menjadi dua golongan yaitu: Ahmadiyah Qadiani (yang mempercayai kenabian Mirza Ghulam Ahmad) dan Ahmadiyah Lahore (yang tidak mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad namun meyakini berbagai pengakuan Mirza yang lain). Ahmadiyah Qadiani yang berpusat di London, Inggris, memiliki stasiun radio, website dan televisi yang dinamakan MTA (Muslim Television Ahmadiyah) yang menggunakan beberapa bahasa di dunia termasuk bahasa Indonesia. Di Indonesia aliran ini bermarkas di Parung, Bogor yang memiliki semacam akademi dengan nama Kampus Mubarak untuk mencetak kader mubaligh Ahmadiyah.

Ajaran Ahmadiyah sebagian besar memang sangat kontras dengan mayoritas ajaran mazhab Islam yang dianut kaum muslim, bahkan mereka telah terusir dari negeri asal mereka India dan Pakistan. Pada bulan Rabiul awwal 1394 H, bertepatan dengan bulan April 1974 M, dilakukan muktamar besar oleh Rabhithah Alam Islami di Mekkah al-Mukarramah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh lembaga-lembaga Islam seluruh dunia. Hasil muktamar memutuskan: 1) Kekufuran dan kemurtadan kelompok Ahmadiyah dari Islam. 2) Meminta kepada kaum muslimin berhati-hati terhadap bahaya kelompok ini dan tidak bermuamalah dengan pengikut Ahmadiyah. 3) Tidak menguburkan pengikut kelompok ini di pekuburan kaum muslimin.

Di Indonesia, pada Musyawarah Nasional (munas) II Alim Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1980, diputuskan bahwa Ahmadiyah adalah Aliran yang menyesatkan. Fatwa ini ditegaskan lagi pada Munas VII 2005 bersamaan dengan pelarangan paham lain tentang liberalisme, sekularisme, dan pluralisme. Sementara, Menteri Agama, Maftuh Basyuni, menegaskan bahwa aliran Ahmadiyah terlarang di Indonesia karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Menurutnya, Islam hanya mengenal satu Tuhan dan menganut ajaran Nabi terakhir Muhammad SAW. Di luar itu (menganut ajaran Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi) berarti bukan Islam (Menag: Ahmadiyah Terlarang Di Indonesia, Media Indonesia Online, Minggu, 21 Agustus 2005, http: www.mediaindo.co.id).

Namun sekian pelarangan ini tetap tidak menyurutkan masyarakat untk mengikuti Ahmadiyah, faktanya hingga sekarang kelompok ini tetap bertahan. Dan bila benar klaim Amir Nasional-nya yang menegaskan bahwa di Indonesia ada 300 lebih cabang dan 300 mesjid, dengan jumlah jamaah sekitar 500.000-an dan pembayar kontribusi reguler 200.000-an, tentunya setiap waktu kelompok ini senantiasa mengalami pertambahan pengikut.

Bagi MUI, ajaran Ahmadiyah ini bertentangan dengan Al-qur’an dan Al-hadits seperti yang telah dipaparkan MUI mengenai hal tersebut diatas sesuai dengan hasil Munas Kedua Fatwa MUI tentang Ahmadiyah, kedua tahun 1980, disiarkan Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, di masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru Jakarta. Demikian isinya: 1) Sesuai data dan fakta yang ditemukan dalam 9 buah buku tentang Ahmadiyah, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jema’ah di luar islam, yang sifatnya sesat dan menyesatkan. 2)Dalam menghadapi persoalan Ahmadiyah, hendaknya MUI selalu berhubungan dengan pemerintah (Mimbar Ulama, No 41, tahun V, Juli-Agustus 1980).

Dalam keputusan itu, bukan Al-Qur’an juga bukan sabda Rasululloh (Hadits) yang dijadikan landasan pengkafiran dan penyesatan Ahmadiyah. Pihak MUI untuk mengeluarkan fatwanya berlandas pada 9 buku dari Ahmadiyah. Ini mungkin masih logis dan rasional. Tapi jika buku itu tentang Ahmadiyah, termasuk karya orang lain non-Ahmadiyah, yang terkadang memiliki sikap antipati terhadap Ahmadiyah, merupakan hal yang sangat tidak logis dan irasional. Apakah fatwa yang bersifat keagamaan dapat dikatakan shahih jika yang dijadikan landasan adalah karya tulis manusia?

Pihak Ahmadiyah sendiri membantah sendiri Fatwa MUI. “Tuduhan-tuduhan itu tidak benar. Ahmadiyah tetap berpagang teguh pada rukun islam dan rukun iman, mengakui dua kalimah syahadat serta melaksanakan misi penyebaran Islam yang berpedoman pada Al Qur’an dan Sunnah,” demikian tegas kata Ketua Umum Pengurus Besar Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (Amir Nasional) H Abdul Basit. Ia membantah berita dan informasi yang menyebutkan bahwa jamaah Ahmadiyah tidak percaya Nabi Muhammad.SAW sebagai khaatamun mabiyyin (nabi terakhir) serta memiliki kitab suci sendiri yang dinamakan Tadzkirah.

Menurut dia, Ahmadiyah berkeyakinan bahwa nabi Muhammad.SAW adalah nabi penutup yang membawa syari’at terakhir, dan kitab suci Ahmadiyah hanya satu yaitu Al Qur’anul karim 30 juz sebagaimana diterima Rasululloh.SAW. Sedangkan Tadzkirah adalah buku yang berisikan himpunan ilham, kasyaf dan ru’yah dari pendiri Ahmadiyah, Hadrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dari risalah-risalah, selebaran dan buku-buku karyanya.

Dikatakannya, jamaah Ahmadiyah merupakan organisasi Islam Internasional yang telah berdiri di 175 negara dunia, termasuk Indonesia yang telah berdiri sejak 1925. keberadaan Jamaah Ahmadiyah di Indonesia diakui secara sah sebagai Badan Hukum berdasarkan Surat Keputusan Menkeh RI No.JA5/23/13 tanggal 13 Maret 1952 (Tambahan Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 No.26), serta terdaftar di Depag RI tanggal 2 Maret 1970 dengan No.046/J/1970 dan di Depsos dengan No. D-V/70 tanggal 15 Mei 1970 (http: www.ahmadiyah.com).


c. Menakar Fatwa MUI

Tanggal 21-22 Juli 2005, di Bali, berlangsung Dialog Antar Agama Asia Eropa (Asia Europe Meeting Interfaith Dialogue), di mana MUI termasuk Panitia Penyelenggara, melahirkan empat butir Deklarasi yang dikenal dengan deklarasi Bali. Keempat butir itu adalah: 1) Seluruh Agama dan Kepercayaan menganjurkan sikap perdamaian saling mengasihi dan toleransi di antara umat manusia. 2) Menumbuhkan dan melindungi HAM serta kebebasan, termasuk hak individu untuk memilih agama atau keyakinan. 3) Masyarakat yang berbeda agama dan kepercayaan bersatu dan menegaskan tidak akan menggunakan aksi kekerasan. 4) Perdamaian, keadilan, kasih sayang dan toleransi perlu dipelihara untuk menciptakan lingkungan kondusif dalam membangun keselarasan komunitas dan masyarakat internasional. Fatwa MUI tentang Ahmadiyah, terbukti dengan jelas, sungguh bertentangan dengan Deklarasi Bali tersebut.

Dalam piagam Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) pasal 18 tentang hak asasi manusia (HAM), yang juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia ditegaskan, “setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama”. Fatwa MUI tentang Ahmadiyah, terbukti bertentangan dengan piagam tersebut dan telah melanggarnya karena ada unsur pemaksaan kepada jama’ah Ahmadiyah Indonesia untuk mengingkari kepercayaannya dalam beragama dan memaksanya meyakini kepercayaan yang berbeda.

Sila pertama dari Pancasila yakni asas Ketuhanan Yang Maha Esa telah menjabarkan; 1) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut kemanusiaan yang adil dan beradab. 2) Hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. 3) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. 4) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

Berdasarkan pada penjabaran sila pertama dari Pancasila tersebut, maka fatwa MUI tentang Ahmadiyah terbukti bertentangan dengan Pancasila, Karena ia telah melakukan pemaksaan terhadap Jamaah Ahmadiyah untuk mengingkari kepercayaannya. Pasal 29 ayat 1 dan 2, UUD 45, mengatakan: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya amsing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Penjelasan mengenai pasal tersebut menyatakan: “Kebebasan beragama adalah salah satu hak yang paling asasi, diantara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama langsung bersumber pada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian negara atau bukan pemberian golongan. Agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasar keyakinan, sehingga tidak dapat dipaksakan dan tidak memaksa setiap manusia untuk memeluk dan menganutnya”.

Kecaman terhadap fatwa ini datang dari beberapa kalangan, di antaranya dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Melalui koordinatornya, Ulil Abshar Abdalla, JIL menilai fatwa MUI yang salah satunya mengharamkan aliran Ahmadiyah sebagai hal konyol dan tidak masuk akal. Sementara itu, Azyumardi Azra, Rektor UIN Jakarta, menyatakan, dilihat dari sudut keagamaan fatwa MUI sangat potensial menciptakan pertikaian antarumat beragama di Indonesia dalam hal ini agama Islam. Fatwa tersebut tak sesuai dengan prinsip Islam yakni toleransi dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dakwah. "Fatwa itu bisa dijadikan justifikasi untuk mengambil tindakan main hakim sendiri di kalangan masyarakat", ujar Azyumardi. Meski menolak pengharaman terhadap Ahmadiyah, ia mengaku tidak mempunyai argumentasi yang mendukung Ahmadiyah merupakan bagian dari Islam (http: www.detik.com, Ulil: Fatwa MUI Soal Ahmadiyah Konyol dan Tolol).

d. Penutup


Kepercayaan dan keimanan adalah hak prerogatif manusia. Siapa pun tak bisa mengatur dan memaksakannya. Ini adalah urusan agama yang sangat privatif, merupakan bagian dari urusan internal agama yang dianutnya. Siapa pun tak berhak mengurusi dan memaksakannya termasuk negara (pemerintah). Demikian sekilas tentang Ahmadiyah di Indonesia yang kehadirannya memicu pro kontra antarkalangan.



Daftar Pustaka

Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta: LKIS, 2005

Mimbar Ulama, No 41, tahun V, Juli-Agustus 1980.

http. www.hidayatullah.com

http: www.sinarharapan.co.id

http: www.mediaindo.co.id

http: www.ahmadiyah.com

http: www.detik.com, Ulil: Fatwa MUI Soal Ahmadiyah Konyol dan Tolol

Kiai: Korektor atau Legitimator?

Oleh: M. Syafiq Syeirozi

Di wilayah Jawa Timur, Suprayogo (2007: 121-122) membagi kiai (ulama) dalam empat tipologi; kiai spiritual (berorientasi ukhrawi dan berpartisipasi sosial politik secara pasif), kiai advokatif (berorientasi dunia-akhirat, partisipasi sosial politik bersifat kalkulatif dan proaktif), kiai politik adaptif (orientasi dunia-akhirat, partisipasi bersifat pasif, kalkulatif, dan pragmatis), dan kiai politik mitra kritis (konservatif, orientasi duniawi-ukhrawi, partisipasi bersifat aktif, kritis, kalkulatif)

Menilik realitas mutakhir, pemetaan tersebut seolah menuai pembenarannya. Setidaknya ditunjukkan oleh variasi pola penyikapan kiai terhadap situasi sosial politik lokal yang mengemuka, di antaranya menghadapi momentum pemilihan Gubernur Jatim kemarin.

Beberapa bulan silam, KH. Fawaid As'ad dari Situbondo memobilisasi ribuan santrinya melakukan aksi massa untuk mendesak percepatan pengusutan kasus korupsi Bupati Situbondo. Terlepas kemungkinan adanya perseteruan politis antara Bupati dengan Kiai Fawaid, dalam hemat saya, itulah tindakan profetis yang sepatutnya dilakukan ulama.
Namun selang dua hari berikutnya, saya dihenyakkan oleh iklan politik dari dua pengasuh pesantren besar di Kediri yang memberikan dukungan secara eksplisit terhadap pasangan Soekarwo dan Saifullah Yusuf dalam Pilgub Jatim. Tersurat dalam iklan, dua kiai tersebut memberikan restu kepada Gus Ipul sebagai kader NU untuk memimpin pemerintahan Jatim. Di pihak lain, KH. Hasyim Muzadi, ketua umum tanfidziyah PBNU juga berkampanye untuk pemenangan Khafifah.

Kaum nahdliyyin di wilayah Jatim adalah mayoritas. Dalam konfigurasi kaum muslim tradisional itu, kiai cenderung diposisikan pada hirarki tertinggi dari stratifikasi sosial yang berbentuk piramida. Sebagai sumber utama sosialisasi nilai keislaman yang menjalin relasi dengan umatnya melalui solidaritas yang lebih berpola mekanis –dalam terminologi Durkheim, kiai mampu menggerakkan aksi sosial dan politik umatnya. Tak jarang, keputusan dan praktik sosial politik warga merujuk ke kiai.
Kendati seiring proses perkembangan sosial politik yang semakin kontraktual, rasional, dan pragmatis, otoritas ulama kian tergerus, namun dua realitas di atas masih cukuh mengukuhkan efektifitas power sosial politik kiai. Faktor ini ditangkap oleh dua pasangan calon pemimpin Jatim. Keduanya berebut simpati massa santri melalui karisma yang melekat pada diri kiai dengan cara sowan personal, menghadiri pengajian akbar, dan semacamnya. Kerekatan ideologis, komunal, dan emosional antara voter dengan kiai-kiai yang telah berjalan lama dan kuat dieksploitasi sebagai medium pengeruk suara.

Di sinilah rentan muncul persinggungan antar kiai pendukung dan acap merembet ke lapisan grass root. Sebab keberbedaan pilihan politik di kalangan nahdliyyin kerap merasuk hingga perasaan terdalam. Dalam jangka panjang, keterlibatan kiai dalam aksi dukung-mendukung bisa menyebabkannya ditinggalkan umat. Artinya resiko sosialnya lebih besar dari impact positifnya.

Padahal tidak ada garansi bahwa setelah terpilih, pasangan pemenang mau menyempatkan waktu untuk sowan dan road show kepada kiai-kiai pendukungnya. Padahal, idealnya kiai yang telah memberi legitimasi senantiasa memberi nasehat kepada pemimpin terpilih yang didukungnya sebagai bentuk pertanggungjawaban publik kiai. Inilah yang kerap tidak disadari oleh figur kiai.

Dua model atraksi politik yang ditunjukkan oleh empat elit Islam di atas jelas berbeda. Yang pertama dalam rangka advokasi kepentingan publik –terlepas ada interest politis yang menyelinap dan ketidaktepatan metode penyampaian aspirasi dengan menutup akses jalan raya yang merugikan penggunanya— dan upaya koreksi kebijakan, sementara yang kedua lebih tampak sebagai stempel atau legitimasi atas kepentingan politik individu.

Secara normatif, fungsi utama ulama adalah penjaga moralitas kekuasaan. Ulama merupakan representasi nilai dan sakralitas agama yang luhur. Secara personal ia harus meneguhkan citra diri sebagai moralis, sementara sebagai pelindung dan sumber moralitas ia harus tampil cerdik bila suatu kebijakan ditegakkan dengan mencederai keadilan atau tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Bila peran ini mandeg, maka jangan salahkan umat yang tidak merasa bersalah ketika tidak mengindahkan instruksi ulama.

Islam dalam hubungannya dengan kekuasaan memang tidak menyediakan sistem ketatanegaraan detail, tetapi Islam menghadirkan seperangkat tata nilai etika dalam berbangsa-bernegara. Nilai inilah yang menjadi landasan kiai untuk berperan sebagai korektor atas tingkah polah elite politik di berbagai level kekuasaan negara.
Maka saya takjub ketika salah seorang pengasuh pesantren besar di Jombang yang mengasuh banyak forum pengajian terbuka di sebagian wilayah Jatim, menolak saat hendak disowani oleh beberapa Cagub-Cawagub menjelang Pilgub babak awal silam. Ia berujar, “kalau mau bertemu saya atau hadir dalam forum pengajian saya, silakan. Tetapi seluruh calon harus dihadirkan bersamaan, saya cuci mereka dengan petuah-petuah secara berjamaah. Atau besok saja pasca terpilih.” Begitulah idealnya sikap kiai di setiap momentum politik; menjaga netralitas sembari meneguhkan nilai moralitas Islam.

MENGARIFI TINGKAH GUS DUR

MENGARIFI TINGKAH GUS DUR

Oleh: M. Syafiq Syeirozi

Barangkali sebagian warga NU resah melihat konflik internal di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tak kunjung “diakhiri”. Perdamaian antara kubu Gus Dur (GD) dengan kelompok Muhaimin masih jauh panggang dari api. Amar keputusan MA yang mengembalikan formasi kepengurusan PKB sesuai hasil Muktamar Semarang tahun 2005, sama artinya dengan terpecundanginya GD oleh Muhaimin. GD sebagai Ketua Dewan Syuro ternyata nyaris tidak memiliki otoritas formal di hadapan UU Parpol, sebab pencalonan legislatif tidak membutuhkan tanda tangannya.

Ketegangan sempat mencuat saat GD secara tegas menginstruksikan pendukungnya untuk menduduki kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) seluruh Indonesia, sebab dianggap tidak adil dengan menolak caleg yang diajukan kubu GD. Namun, kekhawatiran terjadinya chaos antar simpatisan urung terjadi. Realitas ini mirip dengan fenomena saat GD dikudeta dari kursi kepresidenan. Massa nahdliyyin yang memuncak kemarahannya cukup diredakan oleh penampilan GD yang keluar dari istana negara dengan celana pendek. Dalam hemat saya inilah kearifan cucu pendiri NU itu.

Tragedi 1999, di mana terjadi bentrokan antara simpatisan PPP dengan PKB di beberapa daerah seperti Jepara, Pekalongan, dan beberapa kota lain –meski intensitas konfliknya berbeda, tentu menjadi pelajaran. Maka konflik internal PKB, bagi saya, adalah blessing in disguise (rahmat dalam kenestapaan). Meski bisa memicu pergesekan antara massa PKB –terbukti tidak terjadi, namun konflik itu, entah disengaja atau tidak oleh GD, mampu menghindarkan benturan sosial di lapisan grass root antara simpatisan PKB dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), partai yang dipelopori oleh mayoritas kiai NU yang dulu mendukung GD dan kini berseberangan dengannya.

Chaos antara massa NU pada 1999 bisa jadi dipicu ketidaksiapan warga NU akar rumput akan perubahan kilat hingga gagap menerima perbedaan. PPP sebagai partai Islam dan menjadi “rumah politik” umat Islam di era orde baru, termasuk warga NU, tersaingi dengan kehadiran PKB yang didirikan oleh para elit NU. Massa loyalis PPP enggan menerima eksistensi PKB sebagai partainya wong NU. Tentu peristiwa ini masih terekam kuat dalam memori GD.

Tidak sekali ini GD berseteru dengan elit, baik kiai, kader NU, maupun PKB. Pada tahun 2004, perseteruan antara GD dengan Hasyim Muzadi yang merembet hingga Muktamar NU di Boyolali diekspose besar-besaran oleh media massa. Kala itu, seolah-olah NU sudah di tepi jurang perpecahan akibat ulah GD yang terus menyudutkan Hasyim. Namun GD kemudian legawa menerima kekalahan kubunya dan tidak merongrong kepemimpinan Hasyim Muzadi di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Pasca muktamar, GD bersitegang dengan para kiai sepuh yang dulu ia sebut sebagai kiai khosh. Figur-figur “ciptaan” GD yang lantas ia “bubarkan” sendiri dan kemudian ia ganti dengan golongan “kiai kampung”. Perseteruan inilah yang memantik perpecahan di tubuh PKB hingga melahirkan PKNU.

Mengamati sepak terjang Gus Dur yang sekilas tampak mengeroposkan sendi-sendi kekuatan politik PKB (bahkan NU), sah saja bila sebagian warga NU jengah dan marah. Bagaimanapun ada ikatan emosional yang kuat antara nahdliyyin dengan PKB. Kendati menurut beberapa survey mutakhir, PKB mengalami penurunan pendukung secara drastis.

Melalui tulisan ini saya hendak mengajak pembaca, khususnya nahdliyyin, untuk menyikapi secara arif tingkah polah Gus Dur yang kerap bersitegang dengan banyak tokoh PKB dan juga NU.

PKB adalah ekspresi euforia politik warga NU pasca otoritarianisme orde baru. Layaknya NU, PKB kesulitan untuk lepas dari kiai, intitusi pesantren, dan organisasi NU. Padahal kiai, institusi pesantren, dan organisasi NU adalah penjaga moralitas kekuasaan yang idealnya bersikap netral. Kelahiran PKB yang dibidani kiai pesantren dan NU, sempat membuat jam’iyyah NU dianggap melanggar garis khittah 1926 yakni menjadi organisasi sosial keagamaan murni dan tidak berkiprah dalam pentas politik praktis.

Politik praktis adalah medan yang mustahil luput dari pertarungan dan kecurangan demi menggapai kekuasaan. Dan Islam mempunyai preseden historis ihwal tersebut. Centang perenang perebutan tahta politik bermula pasca wafatnya Muhammad Saw, sebab tidak/belum adanya warisan tatanan politik yang terperinci. Kemajemukan etnis yang berhasil diintegrasikan Nabi dalam satu wadah negara Islam Madinah, perlahan tercerai-berai.

Perselisihan antar suku dan klan Arab pun tak terelakkan. Friksi, oposisi, hingga perang saudara berdarah, merupakan hal biasa dalam sejarah khilafah Islam pasca Nabi. Pergantian imperium hampir semuanya dilalui dengan kudeta fisik. Dan setiap imperium pengganti selalui mengklaim bahwa tindakannya merupakan amanat Tuhan dan tidak didasari ambisi kekuasaan.

Menilik sejarah politik Islam di atas, tindakan GD bisa dimaknai sebagai upayanya untuk menghindarkan kesalahan sejarah politik Islam yang sarat pergolakan berdarah antar saudara. Selain itu ia juga memberi pelajaran kepada warga NU bahwa konflik antar anggota jam’iyyah NU seharusnya diletakkan pada lokus politik praktis yakni PKB, dan bukan lokus kultural yaitu NU. Gontok-gontokan dalam arena politik praktis adalah biasa, namun sangat aneh bila dalam organisasi NU yang menjunjung tinggi moralitas Islam.