12.2.10

Koruptor = Maling = Sampah Negara

Saat asyik memanen kedelai pada 02/08/2012, mata tua Minah (55 tahun) tertuju pada 3 buah kakao yang ranum. Tiba-tiba di benaknya terbersit keinginan memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. “Salahnya”, setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohonnya.

Tak lama berselang, seorang mandor perkebunan kakao milik PT RSA melewati lokasi itu. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, wanita asli Banyumas Jawa Tengah yang tidak bisa berbahasa Indonesia itu mengakui perbuatannya.

Seminggu kemudian, nenek belasan cucu itu mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya ia harus duduk sebagai terdakwa kasus pencurian buah kakao di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Hakim pun memvonisnya dengan hukuman 5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan (detiknews.com, 19/11/2009).

Sementara di Kediri, Basar (40) dan Kholil (51), dua buruh tani tani harus harus terseret ke meja hijau dan sempat mendekam di balik terali besi lantaran mencuri buah semangka di kebun milik tetangganya. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan tuntutan hukuman penjara dua bulan 10 hari. Hingga kini kasusnya masih terus di proses di PN Kediri (antaranews.com, 15/12/2009).

Dalam kasus pencurian di atas, alasan perbuatan pelaku sangat jelas; kemiskinan. Namun dalam kasus korupsi yang sama-sama mencuri dan uang negara lah yang digondol, hampir semua pelakunya adalah orang-orang kaya.

Mungkin hal itu wajar, mengingat terlalu sepele jika lembaga sekelas KPK atau Polri hanya mengurusi kasus pungutan liar di beberapa instansi pelayanan publik yang nilainya kecil, dan notabene dilakukan oleh oknum aparat dengan penghasilan pas-pasan. Namun apakah itu akan dibiarkan?

Jika dibandingkan dengan nilai pencurian yang dilakukan oleh Minah, Basar, dan Khalil, tentu korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut nilainya lebih besar, dan dampak kerugiannya lebih meluas.

Korupsi menurut Syed Husein Alatas, penulis buku sosiologi korupsi, adalah tindakan subordinasi kepentingan umum di bawah tujuan-tujuan privatif, mencakup pelanggaran norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan ketidakpedulian luar biasa akan akibat yang diderita khalayak ramai.

Maka menilik akibat yang dilakukan, korupsi kecil-kecilan yang dilakukan oleh aparat, harusnya juga diberantas tuntas. Secara sosiologis, pelakunya juga harus dikucilkan dari masyarakat, agar ia merasa berdosa. Sayangnya di sebagian masyarakat, koruptor malah dihormati.

Nurdin Halid, mantan terpidana korupsi dalam pengadaan minyak goreng yang merugikan uang negara sebesar Rp. 160 Milyar, tetap bertahan di kursi ketua umum pengurus sepakbola seluruh Indonesia (PSSI), dan sempat memimpin induk organisasi olahraga terpopuler di kolong jagat tersebut dari balik jeruji besi selama hampir dua tahun. Tentu dengan jabatan tersebut, di mana-mana ia masih dihormati.

Jika pelaku pencurian di banyak kampung kerap dianggap sebagai “sampah masyarakat”, maka koruptor, berapa pun nilai korupsinya, juga mesti diperlakukan sebagai “sampah negara” yang harus dibersihkan.

Tentu orangtua mana pun tak rela jika anaknya menjadi “sampah negara”. Karena itu pendidikan antikorupsi harus diberikan sejak dini.
(Syafiq)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar