Oleh: M. Syafiq Syeirozi
Di wilayah Jawa Timur, Suprayogo (2007: 121-122) membagi kiai (ulama) dalam empat tipologi; kiai spiritual (berorientasi ukhrawi dan berpartisipasi sosial politik secara pasif), kiai advokatif (berorientasi dunia-akhirat, partisipasi sosial politik bersifat kalkulatif dan proaktif), kiai politik adaptif (orientasi dunia-akhirat, partisipasi bersifat pasif, kalkulatif, dan pragmatis), dan kiai politik mitra kritis (konservatif, orientasi duniawi-ukhrawi, partisipasi bersifat aktif, kritis, kalkulatif)
Menilik realitas mutakhir, pemetaan tersebut seolah menuai pembenarannya. Setidaknya ditunjukkan oleh variasi pola penyikapan kiai terhadap situasi sosial politik lokal yang mengemuka, di antaranya menghadapi momentum pemilihan Gubernur Jatim kemarin.
Beberapa bulan silam, KH. Fawaid As'ad dari Situbondo memobilisasi ribuan santrinya melakukan aksi massa untuk mendesak percepatan pengusutan kasus korupsi Bupati Situbondo. Terlepas kemungkinan adanya perseteruan politis antara Bupati dengan Kiai Fawaid, dalam hemat saya, itulah tindakan profetis yang sepatutnya dilakukan ulama.
Namun selang dua hari berikutnya, saya dihenyakkan oleh iklan politik dari dua pengasuh pesantren besar di Kediri yang memberikan dukungan secara eksplisit terhadap pasangan Soekarwo dan Saifullah Yusuf dalam Pilgub Jatim. Tersurat dalam iklan, dua kiai tersebut memberikan restu kepada Gus Ipul sebagai kader NU untuk memimpin pemerintahan Jatim. Di pihak lain, KH. Hasyim Muzadi, ketua umum tanfidziyah PBNU juga berkampanye untuk pemenangan Khafifah.
Kaum nahdliyyin di wilayah Jatim adalah mayoritas. Dalam konfigurasi kaum muslim tradisional itu, kiai cenderung diposisikan pada hirarki tertinggi dari stratifikasi sosial yang berbentuk piramida. Sebagai sumber utama sosialisasi nilai keislaman yang menjalin relasi dengan umatnya melalui solidaritas yang lebih berpola mekanis –dalam terminologi Durkheim, kiai mampu menggerakkan aksi sosial dan politik umatnya. Tak jarang, keputusan dan praktik sosial politik warga merujuk ke kiai.
Kendati seiring proses perkembangan sosial politik yang semakin kontraktual, rasional, dan pragmatis, otoritas ulama kian tergerus, namun dua realitas di atas masih cukuh mengukuhkan efektifitas power sosial politik kiai. Faktor ini ditangkap oleh dua pasangan calon pemimpin Jatim. Keduanya berebut simpati massa santri melalui karisma yang melekat pada diri kiai dengan cara sowan personal, menghadiri pengajian akbar, dan semacamnya. Kerekatan ideologis, komunal, dan emosional antara voter dengan kiai-kiai yang telah berjalan lama dan kuat dieksploitasi sebagai medium pengeruk suara.
Di sinilah rentan muncul persinggungan antar kiai pendukung dan acap merembet ke lapisan grass root. Sebab keberbedaan pilihan politik di kalangan nahdliyyin kerap merasuk hingga perasaan terdalam. Dalam jangka panjang, keterlibatan kiai dalam aksi dukung-mendukung bisa menyebabkannya ditinggalkan umat. Artinya resiko sosialnya lebih besar dari impact positifnya.
Padahal tidak ada garansi bahwa setelah terpilih, pasangan pemenang mau menyempatkan waktu untuk sowan dan road show kepada kiai-kiai pendukungnya. Padahal, idealnya kiai yang telah memberi legitimasi senantiasa memberi nasehat kepada pemimpin terpilih yang didukungnya sebagai bentuk pertanggungjawaban publik kiai. Inilah yang kerap tidak disadari oleh figur kiai.
Dua model atraksi politik yang ditunjukkan oleh empat elit Islam di atas jelas berbeda. Yang pertama dalam rangka advokasi kepentingan publik –terlepas ada interest politis yang menyelinap dan ketidaktepatan metode penyampaian aspirasi dengan menutup akses jalan raya yang merugikan penggunanya— dan upaya koreksi kebijakan, sementara yang kedua lebih tampak sebagai stempel atau legitimasi atas kepentingan politik individu.
Secara normatif, fungsi utama ulama adalah penjaga moralitas kekuasaan. Ulama merupakan representasi nilai dan sakralitas agama yang luhur. Secara personal ia harus meneguhkan citra diri sebagai moralis, sementara sebagai pelindung dan sumber moralitas ia harus tampil cerdik bila suatu kebijakan ditegakkan dengan mencederai keadilan atau tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Bila peran ini mandeg, maka jangan salahkan umat yang tidak merasa bersalah ketika tidak mengindahkan instruksi ulama.
Islam dalam hubungannya dengan kekuasaan memang tidak menyediakan sistem ketatanegaraan detail, tetapi Islam menghadirkan seperangkat tata nilai etika dalam berbangsa-bernegara. Nilai inilah yang menjadi landasan kiai untuk berperan sebagai korektor atas tingkah polah elite politik di berbagai level kekuasaan negara.
Maka saya takjub ketika salah seorang pengasuh pesantren besar di Jombang yang mengasuh banyak forum pengajian terbuka di sebagian wilayah Jatim, menolak saat hendak disowani oleh beberapa Cagub-Cawagub menjelang Pilgub babak awal silam. Ia berujar, “kalau mau bertemu saya atau hadir dalam forum pengajian saya, silakan. Tetapi seluruh calon harus dihadirkan bersamaan, saya cuci mereka dengan petuah-petuah secara berjamaah. Atau besok saja pasca terpilih.” Begitulah idealnya sikap kiai di setiap momentum politik; menjaga netralitas sembari meneguhkan nilai moralitas Islam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar