26.12.08

MENGARIFI TINGKAH GUS DUR

MENGARIFI TINGKAH GUS DUR

Oleh: M. Syafiq Syeirozi

Barangkali sebagian warga NU resah melihat konflik internal di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tak kunjung “diakhiri”. Perdamaian antara kubu Gus Dur (GD) dengan kelompok Muhaimin masih jauh panggang dari api. Amar keputusan MA yang mengembalikan formasi kepengurusan PKB sesuai hasil Muktamar Semarang tahun 2005, sama artinya dengan terpecundanginya GD oleh Muhaimin. GD sebagai Ketua Dewan Syuro ternyata nyaris tidak memiliki otoritas formal di hadapan UU Parpol, sebab pencalonan legislatif tidak membutuhkan tanda tangannya.

Ketegangan sempat mencuat saat GD secara tegas menginstruksikan pendukungnya untuk menduduki kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) seluruh Indonesia, sebab dianggap tidak adil dengan menolak caleg yang diajukan kubu GD. Namun, kekhawatiran terjadinya chaos antar simpatisan urung terjadi. Realitas ini mirip dengan fenomena saat GD dikudeta dari kursi kepresidenan. Massa nahdliyyin yang memuncak kemarahannya cukup diredakan oleh penampilan GD yang keluar dari istana negara dengan celana pendek. Dalam hemat saya inilah kearifan cucu pendiri NU itu.

Tragedi 1999, di mana terjadi bentrokan antara simpatisan PPP dengan PKB di beberapa daerah seperti Jepara, Pekalongan, dan beberapa kota lain –meski intensitas konfliknya berbeda, tentu menjadi pelajaran. Maka konflik internal PKB, bagi saya, adalah blessing in disguise (rahmat dalam kenestapaan). Meski bisa memicu pergesekan antara massa PKB –terbukti tidak terjadi, namun konflik itu, entah disengaja atau tidak oleh GD, mampu menghindarkan benturan sosial di lapisan grass root antara simpatisan PKB dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), partai yang dipelopori oleh mayoritas kiai NU yang dulu mendukung GD dan kini berseberangan dengannya.

Chaos antara massa NU pada 1999 bisa jadi dipicu ketidaksiapan warga NU akar rumput akan perubahan kilat hingga gagap menerima perbedaan. PPP sebagai partai Islam dan menjadi “rumah politik” umat Islam di era orde baru, termasuk warga NU, tersaingi dengan kehadiran PKB yang didirikan oleh para elit NU. Massa loyalis PPP enggan menerima eksistensi PKB sebagai partainya wong NU. Tentu peristiwa ini masih terekam kuat dalam memori GD.

Tidak sekali ini GD berseteru dengan elit, baik kiai, kader NU, maupun PKB. Pada tahun 2004, perseteruan antara GD dengan Hasyim Muzadi yang merembet hingga Muktamar NU di Boyolali diekspose besar-besaran oleh media massa. Kala itu, seolah-olah NU sudah di tepi jurang perpecahan akibat ulah GD yang terus menyudutkan Hasyim. Namun GD kemudian legawa menerima kekalahan kubunya dan tidak merongrong kepemimpinan Hasyim Muzadi di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Pasca muktamar, GD bersitegang dengan para kiai sepuh yang dulu ia sebut sebagai kiai khosh. Figur-figur “ciptaan” GD yang lantas ia “bubarkan” sendiri dan kemudian ia ganti dengan golongan “kiai kampung”. Perseteruan inilah yang memantik perpecahan di tubuh PKB hingga melahirkan PKNU.

Mengamati sepak terjang Gus Dur yang sekilas tampak mengeroposkan sendi-sendi kekuatan politik PKB (bahkan NU), sah saja bila sebagian warga NU jengah dan marah. Bagaimanapun ada ikatan emosional yang kuat antara nahdliyyin dengan PKB. Kendati menurut beberapa survey mutakhir, PKB mengalami penurunan pendukung secara drastis.

Melalui tulisan ini saya hendak mengajak pembaca, khususnya nahdliyyin, untuk menyikapi secara arif tingkah polah Gus Dur yang kerap bersitegang dengan banyak tokoh PKB dan juga NU.

PKB adalah ekspresi euforia politik warga NU pasca otoritarianisme orde baru. Layaknya NU, PKB kesulitan untuk lepas dari kiai, intitusi pesantren, dan organisasi NU. Padahal kiai, institusi pesantren, dan organisasi NU adalah penjaga moralitas kekuasaan yang idealnya bersikap netral. Kelahiran PKB yang dibidani kiai pesantren dan NU, sempat membuat jam’iyyah NU dianggap melanggar garis khittah 1926 yakni menjadi organisasi sosial keagamaan murni dan tidak berkiprah dalam pentas politik praktis.

Politik praktis adalah medan yang mustahil luput dari pertarungan dan kecurangan demi menggapai kekuasaan. Dan Islam mempunyai preseden historis ihwal tersebut. Centang perenang perebutan tahta politik bermula pasca wafatnya Muhammad Saw, sebab tidak/belum adanya warisan tatanan politik yang terperinci. Kemajemukan etnis yang berhasil diintegrasikan Nabi dalam satu wadah negara Islam Madinah, perlahan tercerai-berai.

Perselisihan antar suku dan klan Arab pun tak terelakkan. Friksi, oposisi, hingga perang saudara berdarah, merupakan hal biasa dalam sejarah khilafah Islam pasca Nabi. Pergantian imperium hampir semuanya dilalui dengan kudeta fisik. Dan setiap imperium pengganti selalui mengklaim bahwa tindakannya merupakan amanat Tuhan dan tidak didasari ambisi kekuasaan.

Menilik sejarah politik Islam di atas, tindakan GD bisa dimaknai sebagai upayanya untuk menghindarkan kesalahan sejarah politik Islam yang sarat pergolakan berdarah antar saudara. Selain itu ia juga memberi pelajaran kepada warga NU bahwa konflik antar anggota jam’iyyah NU seharusnya diletakkan pada lokus politik praktis yakni PKB, dan bukan lokus kultural yaitu NU. Gontok-gontokan dalam arena politik praktis adalah biasa, namun sangat aneh bila dalam organisasi NU yang menjunjung tinggi moralitas Islam.

1 komentar: